Senin, 07 September 2009

INDAHNYA BEGAWAN POLITIK SOEHARTO DALAM MENAKLUKAN REFORMASI

Reformasi palsu

Ketika terjadi reformasi, Suharto dengan tenang, aman, nyaman dan tentram tetap bercengkerama di jl. Cendana bersama anak cucunya, ini sungguh luar biasa! Para politisi dan profesor dari Luar Negeri sampai tidak habis herannya, mereka meminta bangsa Indonesia untuk secara cerdas, kritis dan analitis untuk mendalami hal ini mengingat fakta sejarah didunia mengatakan bahwa jatuhnya rezim diktator atau koruptor selalu dibarengi dengan lima faktor reformasi sbb.:

a) kaburnya penguasa ke luar negeri atau terbunuh

b) partai pendukung utamanya dibubarkan

c) militer kembali ke barak

d) ada repatriasi/pengembalian harta rampokan presiden, keluarga, dan kroninya kepada negara.

e) terjadi pergantian regim: baik manusianya, sistemnya, dan perangkat organisasinya

Marilah kita simak reformasi palsu yang terjadi di Indonesia berdasar fakta diatas:

a) Soeharto dkk. tetap aman dan tentram di istananya, jl. Cendana

b) Partai GOLKAR tetap jaya raya hingga kini, dan semua perangkat organisasi penting regim ORBA untuk politisasi praktis tak tersentuh, seperti: MUI, KORPRI, Dharma Wanita, dst.

c) Militer tetap rajin berpolitik bahkan menyusupi hampir setiap partai politik, bisnis TNI/POLRI yang menghancurkan ekonomi bangsa tetap sulit dibrantas. Mereka juga masih mendominasi birokrasi dan mass media informasi.

d) Harta rampokan regim Soeharto masih parkir dengan aman di bank2 luar negeri (saran: bacalah buku “Korupsi Kepresidenan” Karya George Adi Tjondro yang luar biasa bagus). Harta rampokan ini, ratusan trilyun rupiah, adalah modal yang baik untuk money politics dan untuk membeayai berbagai kekacauan di bumi nusantara.

e) Soeharto justru diperkenankan menunjuk Habibie sebagai penggantinya (mana ada di negara lain, diktator direformasi dibolehkan menunjuk pengganti?).

Penunjukan Habibie merupakan titik balik sejarah dan awal dari segala mala petaka bangsa Indonesia. Kelima point ini terjadi dikarenakan kepiawaian regim Soeharto dalam menyusupi gerakan reformasi, salah satu pimpinan reformasi adalah kader sejati Soeharto yang telah lama dipersiapkan dan sengaja diselundupkan, maka jadilah reformasi palsu seperti kita alami ini. Persamaan mathematik reformasi di Indonesia sungguh kayal dan irasional, persamaan itu adalah: Orde Reformasi = Orde Baru cukup dikurangi satu Soeharto saja! Regim ORBA adalah ibarat rangkaian seratus gerbong kereta api Argo Bromo, kemudian melalui reformasi semu, yang turun baru satu masinis saja, yaitu Soeharto, sedangkan penumpang lainnya masih mendominasi semua gerbong. Regim Orba minus Soeharto masih mendominasi tatanan bisnis, birokrasi dan perpolitikan di Indonesia (terutama oknum petinggi militer/polri dan Golkar). Model persamaan matematik tidak logis ala Indonesia, telah menjadi bahan lelucon politik internasional yang disebut: “Mati Ketawa Ala Indonesia”. Mana ada suatu kantor yang bejat dan korup dapat berubah baik hanya karena ganti satu orang saja, yaitu kepala kantornya? Lalu siapakah tokoh reformasi palsu yang diselundupkan regim Soeharto ini? Megawati? Gus Dur? Ataukah Amien Rais? Saat artikel ini dibahas dan ditulis (Maret 2007), kekuatan regim bablasan (penerus) Orba sudah kembali sehat, kuat dan sejahtera. Jadi, masyarakat mohon sadar akan serangkaian pemalsuan sbb: sejarah 1965 dipalsukan, Supersemar dipalsukan, sejarah serangan umum di Yogya dipalsukan, reformasi dipalsukan, BPPN dipalsukan justru untuk menyelamatkan regimnya, data2 statistik negara dipalsukan demi justifikasi kebijaksanaan pemerintah, dan masih banyak kepalsuan ciptaannya, inilah “INDAHNYA BEGAWAN POLITIK SOEHARTO DALAM MEMPERDAYAI BANGSANYA”.

Berkelit dari himpitan USA dan kaum reformis

Pada sekitar tahun 1990 an, Soeharto menyadari kesalahan bahwa ia telah hampir 30 tahun menggadaikan bangsanya ketangan USA dkk. Seperti Sadam Husein dan Osama Bin Laden yang berbelok 180 derajat dari boneka menjadi musuh USA. Disamping itu, Regim Soeharto (regim Orba, regim militer) sudah terdesak oleh kaum reformis (cendekiawan kampus). Cara teraman dari tekanan USA dan kaum reformis adalah menggunakan politisasi agama terutama politisasi Islam sebagai agama mayoritas. USA, yang dipenuhi pemenang hadiah Nobel dan orang Yahudi yang cerdas, menyadari strategi Soeharto. Maka digunakanlah alat internet untuk menembus dominasi mass media dalam negeri Indonesia yang dikuasai regim ORBA; antara lain dibuatlah web site Apa Kabar yang dikelola John McDougall dari Maryland USA. Ingat, s/d sekarang musuh paling ditakuti oleh setiap regim militer/diktator diberbagai negara adalah internet, mengingat internet tidak bisa dikontrol. Melalui web site ini, para cerdas-cendekia di Indonesia dicerahkan dan disadarkan tentang berbagai strategi Soeharto untuk berkuasa selama 30 tahunan. Artikel berbobot itu silih berganti muncul dan berasal dari para pakar politik tentang Indonesia, misal: Ben Anderson, Wiliam Lidle, Jeffry Winters, Harould Crouch, Gus Dur, Arief Budiman, M. Prabot Tinggi, George Adi Condro, Budiman Sudjatmiko, dst. Berkat artikel berbobot ini, maka percepatan reformasi terjadi dengan pesat sekali. Setelah selesai mempersiapkan manusianya, maka jago pakar politik keuangan USA dengan cerdik meluluh lantakan regim Soeharto (yang dianggap telah membangkang USA) dengan cukup membanting nilai tukar rupiah, puncaknya: 1 $ = Rp. 16.000,-. Hancurlah regim Soeharto, namun ia tetap dengan lihai tuk menyelamatkan diri! Setelah regim Soeharto runtuh, media internet Apa Kabar pun dihentikan dengan alasan kekurangan biaya dan man power. Sungguh licik dan hebooaaat ya para politisi sekaliber pemenang Nobel di USA dalam menggulung regim didikannya yang membangkang! Walau gagal melepaskan diri dari USA dkk., berkat politisasi agama, regim Soeharto memang selamat dari reformasi; namun dengan ongkos bangsa yang besar sekali, yaitu berupa hasil sampingan: Indonesia saat ini masuk sekaligus dua mulut: harimau dan buaya! Dengan strategi save exit ini, Indonesia seolah-olah ingin dilepaskan dari mulut harimau (USA dkk.), namun hendak dimasukan ke mulut buaya (Arab/Timur Tengah). Indonesia s/d saat ini (2007) adalah kembali menjadi ajang pertempuran ideologi antara: Barat lawan Timur Tengah, antara kaum sekuler dan kaum Islam, antara modernitas dan kekolotan agama. Sedangkan antara tahun 1960 s/d 1965 Indonesia menjadi ajang pertempuran antara kapitalis (USA) lawan komunis (Rusia, China). Pada dasarnya, Indonesia tak pernah merdeka, ia terus dibawah kekuasaan asing atau sekedar jadi ajang pertempuran ideologi besar dunia atau penjajahan ekonomi.

Jurus indah reformasi palsu regim Soeharto

Begawan Politik Soeharto sungguh sulit dicari tandingannya dalam mengerjain (mempermainkan) bangsanya sendiri secara amat sangat licik. Senjata utama beliau bersama regim adalah: susupi dan tunggangi lawan, tipulah dan bodohilah bangsamu – kalau menipu jangan tanggung-tanggung (maling teriak maling) bahkan kalau bisa, tipulah Tuhanmu melalui politisasi agama, kedua kuasailah media informasi negara, ketiga buatlah jaringan politik/mafia preman dari Sabang s/d Merauke, keempat gunakan bunga uang hasil merampok negara (yang tersimpan aman dan rapi di luar negri) untuk money politics, keempat kuasailah militer dan polisinya . Berikut ini dijelaskan secara detail jurus politisasi agama dan money politics regim Soeharto (Orba):

- Dijaman Soeharto (Orba): agama diperalat untuk menggaet suara pemilih disaat Pemilu, misalnya saja penyalahgunaan dai Zainudin MZ yang sengaja sering ditampilkan di TV, kemudian sengaja digelari “Dai Sejuta Umat” agar rakyat mudah terpikat. Jurus ini disebut “politik kambing putih”. Setelah populer, dai ini dibawa safari Ramadhan oleh menteri Harmoko untuk menipu rakyat demi kemenangan GOLKAR. Memenangkan suara pemilu suatu daerah diuamakan melalui para ulamannya. Semenjak regim ORBA s/d saat ini para kyai dan ulama terus diperebutkan oleh politikus untuk menjadi sekedar alat politik. Oleh regim Suharto, para ulama busuk ini dibuatkan wadah yang dinamai MUI. Oleh orang bijak, kata MUI lebih tepat kalau diterjemahkan sebagai Majelis Ulama Istana (atau alat penguasa). Sampai dengan saat ini MUI diberikan income yang sangat besar sekali yaitu melalui labelisasi halal/haram semua makanan (semestinya Badan POM). Sebagai pembanding, Probo Sutejo, paman Soeharto, berawal dari guru SMA, diberikan kekuasaan labelisasi cengkeh, maka jadilah ia trilyuner; Probo mampu menyuap Rp. 16 milyar ke pada hakim agung di MA! Apalagi labelisasi halal-haramnya makanan! Saat ini adalah sulit untuk membedakan antara ceramah agama dan ceramah politik seorang ulama. Baru Gus Dur saja (saat itu sebagai presiden) yang berani memarahi para ulama di MUI, dan saat itupun disiarkan secara langsung di TVRI! Gus Dur menandaskan bahwa para ulama ini adalah para pengejar harta dan kekuasaan.

- Ketika regim militer sudah terdesak oleh kaum intelektual kampus, maka Habibie bersama para Jendral (Hartono, Ahmad Tirtosudiro, mbak Tutut, dsb.) mendirikan ICMI di Universitas Brawijaya Malang guna menarik simpati dan mengelabui kaum intelektual. ICMI menjadi begitu populer saat itu, lalu dibuat policy bahwa masuk ICMI adalah kunci jabatan birokrasi yang tinggi. Tak heran, saat itu, banyak Profesor dan Doktor terpikat masuk ICMI terbius tuk menduduki jabatan birokratis yang tinggi. Hal ini paling tidak menandakan adanya: kebutaan politik dan tingginya napsu manusiawi (harta dan kedudukan) para ilmuwan Muslim. Disini agama dipakai untuk menjaring, membius dan mengelabui cendekiawannya sendiri demi save exit regim ORBA. Jurus ini disebut “menjaring ikan gurami yang mabuk cap jay”, hebat bukan? Ini juga bukti bahwa agama mempunyai potensi memabukan manusia sampai rasio manusia mengalami kemunduran luar biasa.

- Seiring dengan ICMI, Suharto juga mengganti para menterinya yang semula berwajah Nasionalis menjadi bernuansa Arab-Islami demi mengambil hati umat Islam guna menyelamatkan regim militer dan ORBA. Para menteri keturunan Arab tsb. adalah: Marie Muhamad, Ali Alatas, Saleh Affif, Fuad Hasan, Bedu Amang, Fuad Bawazir, dsb. Kemudian mbak Tutut Suharto yang cantik dan seksi ke Mekah naik haji, dan sepulangnya dari Arab, beliau memakai jilbab. Bob Hasan pun berganti nama menjadi Muhamad Hassan. Sebelumnya, Suharto telah mengobral uang rakyat sebanyak 700 trilyun rupiah ke etnis Tionghoa yang nakal lewat BLBI (banyak Chinese yang baik, namun regim Suharto yang jahat lebih suka memilih yang hitam). Dengan demikian, regim ORBA ingin berganti baju, yang dulu: militeristik, pro nasionalis (dengan think-thank CSIS), dekat dengan Tionghoa, dekat dengan USA/IMF, dan terkesan menindas Islam, menjadi pro Islam atau bahkan ingin mengesankan diri sebagai pembela Islam, menjauhi Tionghoa dan Barat. Regim ORBA saat itu memang sudah diambang kejatuhan, maka strategi terjitu adalah politisasi agama. Disini agama dipakai untuk: meninggikan etnik keturunan (Arab), menipu para cendekiawan Muslim, meremehkan suku dan budaya asli bangsa sendiri (Jawa), memprovokasi anti Barat, dan menipu rakyatnya sendiri. Jurus ini disebut “bidadari bersolek diri”! Bagus bukan?

- Seminggu sebelum tragedi Mei 1998 yaitu pembantaian/perkosaan umat Tionghoa di Jakarta dan Solo, yang didalangi Wiranto dan Prabowo (masih perlu dikonfirmasi!) dengan operator RPKAD dan Pemuda Pancasila, para provokator telah diinstruksikan untuk menulisi rumah2 penduduk dengan kata2 bernuansa SARA yaitu:”Milik Pribumi Muslim”. Dengan demikian, para oknum jendral AD tsb. berusaha mengadu domba agama Islam dengan etnis Tionghoa. Nampak bahwa regim Suharto/militer ingin mengalihkan tanggung jawab salah urus negara kepada etnis Tionghoa (direpresentasikan oleh konglomerat hitam), selain itu juga ingin membuat citra bahwa umat Muslim layak marah kepada etnik Tionghoa. Padahal hampir semua bisnis militer, politisi dan pejabat tinggi kebanyakan dijalankan oleh konglomerat hitam Tionghoa (sekali lagi, di Indonesia tercinta ini jauh lebih banyak Tionghoa yang baik, bijak dan pandai daripada yang “hitam”, dan jika mereka ini dipakai secara baik dan benar, maka seperti Hongkong, RRC, Tiwan, Singapore, Malaysia, dan Thailand, Indonesia akan maju pesat). Manusia Jawa lalu merasa: dianaktirikan (apalagi dibunuhi dijaman 1965) dan Tionghoa dianak emaskan (diberi BLBI 700 trilyun); sebaliknya manusia Tionghoa merasa: dianaktirikan (dilarang masuk PNS, diperkosa dan dilecehkan saat tragedi Mei 98, penindasan budaya, serta adanya persyaratan SKBRI) dan pribumi dianak emaskan (misalnya: diberi kesempatan lebih besar menjadi PNS); kemudian menjelang reformasi, keturunan Arab dianak emaskan. Dimulai semenjak regim Suharto, hubungan pribumi dan Tionghoa menjadi tidak harmonis bahkan cenderung saling curiga; demikian pula antara Jawa dan non luar Jawa (adanya sentralisasi mengakibatkan luar Jawa jauh tertinggal). Disini agama dipakai untuk adu domba, divide et’ impera (pemecah belah), kerusuhan, perkosaan bahkan pembantaian etnis. Jurus ini disebut “melempar tanggung jawab, memotong kambing hitam”. Luar biasa bukan?

- Ketika Akbar Tanjung diadili masalah penyelewengan dana Bulog, ia berdalih bahwa uang itu telah disalurkan ke yayasan Islam yang disebut Rudhatul Janah guna mengentaskan kemiskinan; padahal uang itu dipakai untuk mendirikan berbagai partai politik agar PDIP saat itu tidak menang mutlak. Para politisinya (terutama militer) lalu disusupkan kesemua parpol, bahkan termasuk PDIP! Bila saat itu tetap hanya ada tiga partai, PDIP menang mutlak, pastilah regim ORBA sudah musnah! Salah satu partai politik yang didanai adalah PAN. Jurus penggunaan agama untuk bersembunyi dan sekaligus untuk ditunggangi disebut “bertengger dan bersenyum di jendela masjid”, cerdik bukan?

- Ketika terjadi reformasi, Suharto dengan tenang, aman, nyaman dan tentram tetap bercengkerama di jl. Cendana bersama anak cucunya, ini sungguh luar biasa! Para politisi dan profesor dari Luar Negeri sampai tidak habis herannya, mereka meminta bangsa Indonesia untuk secara cerdas menganalisa hal ini mengingat fakta sejarah didunia mengatakan bahwa jatuhnya rezim diktator atau koruptor selalu dibarengi dengan lima faktor reformasi (sudah diterangkan diatas sendiri). Satu lagi hal yang paling tidak masuk akal adalah Soeharto justru diperkenankan menunjuk penggantinya yaitu Habibie (mana ada diktator direformasi dibolehkan menunjuk pengganti?). Penunjukan Habibie merupakan titik balik sejarah dan awal dari segala mala petaka bangsa Indonesia. Memang sayang sekali, bangsa ini baru terlelap tidur sehingga otaknya tidak mampu menganalisanya. Para kaum genius politik (terutama pengamat politik luar negeri, akademisi kampus) mengatakan bahwa disamping Suharto mendapat jaminan keamanan dari kelompoknya (TNI AD lewat Jendral Wiranto dan Prabowo), Suharto juga mendapat jaminan keamanan dari salah seorang tokoh reformasi yang berhasil diselundupkannya… hebat bukan? Dalam politik, cara terbaik melumpuhkan lawan adalah strategi penyusupan (ingat dimasa ORBA: berapa kali PDI disusupi dan dipecah belah dari dalam). Siapakah diantara ketiga tokoh reformasi (Mega, Gus Dur, atau Amien Rais) yang merupakan tokoh selundupan itu? Para genius politik menandaskan bahwa ia adalah Doktor Amien Rais, warga keturunan Arab asal Solo, sahabat lama Prabowo jauh hari sebelum reformasi (Prabowo = menantu Suharto); jadi regim Suharto sudah lama mempersiapankan strategi penyusupan Reformasi. Amien Rais, kader brilian ICMI, kemudian pura-pura bentrok dengan ICMI, keluar dari ICMI dan menyelundup sebagai tokoh reformasi. Bukti lain bahwa Amien Rais adalah antek Suharto terlihat jelas dari gerak zig-zagnya. Saat itu, media informasi seperti TV, radio, dan koran masih didominasi regim ORBA, namun Amien Rais “dikambing putihkan” dengan cara banyak dimunculkan di media informasi. Jurus ini disebut “menyelundupkan monyet diantara kambing tengik”, cerdik bukan? Ingat, hanya orang dekat saja yang dapat dan sering tampil di media massa, apalagi TV! Regim bablasan Orba s/d saat ini adalah paling banyak menguasai media informasi.

- Dengan cerdik dan licik, Golkar mengetahui bahwa tidak akan bisa memenangkan pemilu, dipilih strategi pelipat gandaan jumlah parpol (terutama berbasis Islam) dan penyusupan di setiap parpol oleh politikus ORBA (terutama petinggi militer), maka walau kalah dalam Pemilu sehingga tidak dapat menguasai eksekutip, namun Golkar tetap dapat menguasai legislatip (koalisi parpol baru dengan para penyelundup diberbagai Parpol). Dengan demikian kekuasaan dan semangat Orde Baru telah dipindahkan dari istana presiden ke gedung parlemen di Senayan. Dengan dominasi ini, tidak heran bila Amien Rais (ketua PAN) sebagai reforman selundupan dengan mudah berhasil dipilih dan didudukan sebagai ketua MPR, sungguh luar biasa taktik regim Soeharto! Kemudian, dengan kelicikan lagi, dilakukan amandemen UUD 1945 tahun 1999 yang dibikin(-bikin), maka kekuasaan pembuatan undang-undang menjadi dipindahkan dari istana negara ke gedung parlemen di Senayan. Negara menjadi berat di legislatip daripada eksekutip. Saat itu (jaman Gus Dur dan Mega), presiden boleh dikata hanya menjadi bulan2an DPR.

Tugas Khusus Amien Rais dkk.

Sebagai reforman selundupan dan bayaran dengan tujuan justru untuk menyelamatkan regim Orba, maka Amien Rais dkk. secara cerdik membelokan arah reformasi dengan cara:

a) Ketika Suharto dengan seenaknya/inkonstitusional (”Kebijakan”) menunjuk Habibie sebagai penggantinya, maka kaum intelektual kampus dan para mahasiswa menolak Habibie (Hbb) dan ingin menurunkannya, Amin justru melindungi Hbb dengan himbauannya agar Hbb diberi kesempatan tuk memimpin reformasi dan Amin sanggup menjadi sparing partnernya apabila Hbb menyeleweng. “Kebijakan semu” ini hingga hari ini menyisakan multiplikasi persoalan berlarut-larut yang semu dan tak berujung pangkal karena semua keadaan tiba-tiba berada dalam gerakan darurat yang tumpang tindih, simpang siur, tanpa pernah diusut benang merah sebab-musabab persoalannya.

b) Akhirnya PDIP menang pemilu, namun tidak bisa menang mutlak karena partai peserta Pemilu disengaja banyak sekali dan terjadi penyusupan (ini strategi devide et impera: susupi dan pecah belah). Mengingat regim ORBA masih merasa ragu & takut sekali apabila Megawati menjadi presiden (siapa tahu Mgwti, anak Sukarno, akan balas dendam thd regim Suharto) maka perlu kelicikan untuk menjegal Mega, Amien pun menjadi dalangnya dengan membentuk poros tengah yang bernuansa Islami dan dengan jargon “Wanita belum bisa diterima oleh ulama Islam sebagai presiden”. Gus Dur yang dianggap kurang berbahaya terhadap regim ORBA dinaikan menjadi presiden (walau dari persyaratan kesehatan jasmani jelas2 tidak mungkin ia menjadi presiden sebab buta; namun saat itu hanya Gus Dur yang dapat menandingi kepopuleran Megawati).

d) Ketika dalam perjalanannya sebagai presiden, Gus Dur ternyata dianggap membahayakan regim Orba, maka Amin Rais kembali beraksi lagi melalui MPR/DPR dan berhasil menjatuhkan Gus Dur. Gebrakan gus Dur yang membahayakan regim Orba misalnya adalah: membubarkan Deppen dan menetralkan LKBN serta TVRI (senjata informasi paling canggih regim Orba, pembius dan pembodoh rakyat), ingin menghapus TAP MPRS ’66, pemulihan hak kebudayaan etnis Tionghoa, serta diangkatnya Baharudin Lopa menjadi Jaksa Agung. Amien dkk. sebagai antek regim ORBA kembali beraksi, Gus Dur di skak mat dengan skandal yang disebut Brunei Gate, Gus Dur tumbang ditengah masa jabatannya, walau begitu ia adalah presiden yang cerdas dan dianggap “blessing in disguise”, banyak perubahan positip dijaman beliau. Sedangkan Baharudin Lopa dilenyapkan seperti nasib Munir, tokoh pembela HAM. Regim Orba memang pakar dalam culik-menculik, menghilangkan orang, dan bunuh-membunuh serta adu domba sesama anak bangsa. Pengakuan/pertobatan ki Gendeng Pamungkas, si pembunuh bayaran yang sering disewa keluarga Cendana dan para jendral untuk mengeliminasi musuh politik, dalam suatu vcd yang mudah didapat dipasaran adalah salah satu bukti nyata (demikian pula Ki Joko Bodo, tukang santet dan pembunuh bayaran yang kaya raya sekali). Termasuk yang dieliminir oleh regim Soeharto adalah: Soekarno, para mahasiswa idealis, Munir, serta jendral bersih dan cerdas Agus Wirahadikusumah, Baharudin Lopa, dan Juanda – pengamat intelijen/militer yang juga diperkirakan dihabisin di Paris (2006). Sedangkan pembunuhan massal, biadab dan membabi buta oleh regim militer ini adalah pada pembantaian PKI 1965, kerusuhan Dili di Timor Timur, pembantaian/pelecehan etnik Tionghoa 1998.

e) Ditahun 2004, Gus Dur ngotot ingin jadi calon presiden lagi; namun karena tidak dibutuhkan lagi oleh regim ORBA (untuk menjegal Megawati), maka cacat matanya dipermasalahkan, kali ini tidak ada lagi yang membelanya! Megawati yang sudah bisa dijinakan dan mulai dekat dengan militer akhirnya direstui tuk jadi presiden.

g) Kemudian, dalam salah satu pidatonya, Amin Rais menandaskan untuk tidak mengungkit-ungkit lagi Soeharto dengan alasan usia dan sakit; padahal Soeharto dkk. itu kunci keadilan, kunci KKN, kunci masalah dan pelurusan sejarah, kunci harta rampokan yang ada di bank2 L.N; Soeharto adalah sumber dari segala sumber malapetaka Indonesia (bagaikan Hitler bagi Jerman); jadi sebaiknya Soeharto diadili dulu, mengakui bersalah, harta rampokannya dikembalikan, barulah diampuni. Kasus terakhir, bulan Maret 2006, AM Fatwa dari PAN menjenguk Tommy Suharto dengan alasan kemanusiaan, diperkirakan ini adalah bagaikan balas jasa PAN atas pendanaan awal partai PAN oleh regim Soeharto, serta mengingat menguatnya kembali regim militer (kembali USA ingin dibelakang militer lagi). Dalam gerakan zig-zag si reforman palsu ini (Amin Rais), ia bagaikan mendapat dukungan resmi dan restu dari induk organisasinya yaitu Muhammadiah. Sampai dengan saat ini Amien Rais beserta petinggi ICMI, HMI, KAHMI, dan MUI sudah tidak pernah lagi mengusik Suharto beserta kroninya, karena mereka sudah kenyang akan keduniawian: kekuasaan dan materi/uang.

Jurus obok-obok bangsa sampai mabok

Reformasi palsu yang terjadi namun diterima oleh sebagian besar masyarakat yang kurang kritis dan cerdas pun perlu dikacaukan, agar rakyat membenci reformasi dan kembali rindu kepada regim Soeharto. Beberapa jurus obok2 regim bablasan ORBA adalah sbb.:

- Regim Orba dan regim militer (para oknum Jendral TNI AD, khususnya KOPASUS) menyadari bahwa rasa damai dan aman adalah kebutuhan mendasar manusia. Maka mereka mendanai, mengorganisasikan, dan menggerakan berbagai kerusuhan di bumi Nusantara, terutama menggunakan atribut Islam, misal Front Pembela Islam. Seringkali kerusuhan dan adu domba di Nusantara di outsourcingkan (disubkontrakan, politik pinjam tangan) kepada pihak ketiga (misalnya Pemuda Pancasila, Laskar Jihad, FPI, dst) melalui makelar, kemudian makelarnya dibinasakan. Sebagai contoh, kasus dukun santet di Banyuwangi; otaknya di Jkt (pada umumnya petinggi militer), pelaksananya preman2 luar Jkt dan luar Bwi; setelah sukses, makelarnya dihabisin, sehingga benang merah koneksi antara otak di Jkt dan pelaksana di BWI terputus; jadilah kasus itu sekedar kasus lokal, pejabat busuk di Jkt seolah-olah tidak terlibat. Demikian pula kerusuhan di Ambon, Pontianak, Poso, dst. adalah ulah mereka. Sebenarnya untuk menangkap otaknya/pendananya, cukup mudah sekali, cukup melacak aliran dana di Bank dan menyadap via telepon serta internet; namun Badan Intelijen (BIN) tidak melakukannya, mengingat BIN selama ini justru menjadi alat militer tuk berkuasa; musuh BIN yang terutama adalah justru manusia Indonesia yang baik dan idealis (bukan musuh dari luar). Pensiunan BrigJen Sumarsono, waktu itu Sekjen PBSI, ditangkap dengan milyaran rupiah uang palsu. Para pengamat politik supercerdas langsung tahu bahwa uang palsu itu untuk membayari para preman perusuh; jadi ada maksud untuk sekaligus mengacau keamanan (kerusuhan) dan mengacau ekonomi (uang palsu), luar biasa liciknya para oknum jendral AD itu. Dengan diciptakannya berbagai kerusuhan, patahlah kepercayaan rakyat pada “Reformasi” (palsu), dan rakyat rindu pada regim militer lagi. Jadi regim Orba sungguh licik, sudah palsu, masih diobok-obok sampai mabok, setelah rakyatnya tak tahan mabok, lalu rindu kembali kepada regim Soeharto. Berbahagialah kita yang terus terjaga dan sadar bahwa s/d saat ini yang berkuasa adalah regim bablasan Orde Baru, bahwa reformasi adalah palsu seperti sejarah G30S!

- Para oknum jendral AD di Mabes Cilangkap memang pintar, mereka selalu berada diantara bandul jam “radikal dan nasionalis”. Ketika mereka terdesak oleh kaum Nasionalis, maka kaum radikal sengaja dibesarkan/dihidupkan, dengan demikian kaum Nasionalis jadi keder nyalinya; sebaliknya bila regim Militer terdesak kaum radikal Islam, maka regim militer akan berbalik ke kaum Nasionalis untuk bersama-sama menghabisi kaum radikal. Dengan strategi ini, para oknum pejabat militer akan selalu berada diatas dan mendapatkan dana pengamanan yang luar biasa (baik dari negara maupun dari kaum minoritas yang kaya raya), demikian pula bisnis pengamanan tambang2 modal asing seperti di Free Port dan LNG Arun, bisnis keamanan sungguh luar biasa besarnya, sampai para jendralnya dapat menjadi milyader atau trilyuner di tengah bangsanya yang miskin.

- Dalam pemilu terakhir yang dimenangkan SBY, regim militer mensponsori dan menggunakan PKS (dari mana dana partai gurem ini? Ini mirip dengan kasus pendirian PAN). Pada saat kampanye, partai reformis selain PKS, hampir tidak pernah di cover di televisi, sebaliknya PKS terus-terusan dimunculkan di mass media. Politik kambing putih kembali dilakukan. Kalau dulu militer memakai PAN dan menokohkan Amien Rais, maka kali ini mereka menggunakan PKS dan memakai Hidayat Nur Mahmudi. Akhirnya HM Mahmudi menjadi ketua MPR (dengan agenda terselubung), persis seperti Amien Rais. Pemilu waktu itu didominasi oleh: rebutan para kyai (bukan para intelektual), rebutan sultan (Yogya/Solo/Cirebon), ziarah ke makam2 dan berdangdutan; nuansa keilmuan, kampus, science tidak ada sama sekali! Memang benar, reformasi tidak akan terjadi bila media informasi dikuasai regim ORBA.

- Beberapa hari sebelum pemungutan suara pada pemilu presiden 2004, bom sengaja diledakan di depan Kedubes Australia. Saat pemungutan suara, TV BBC Inggris mewancarai seorang pencoblos, pencoblos itu mengatakan tidak mau memilih Megawati lagi dengan alasan banyaknya bom yang meledak, terutama yang barusan meledak di kedubes itu. Itu adalah salah satu faktor penentu kemenangan militer kembali. Sungguh jitu strategi para oknum Jendral AD ini! Kemudian, pengebomnya berhasil dibekuk, padahal strategi ini buatan mereka sendiri (memakai radikal Islam)! Jadi sekali tepuk mereka dapat tiga point: membisniskan keamanan, menang pemilu & rakyat tambah percaya pada militer (bisa membekuk pelakunya).

- Setelah pemilu, tokoh2 KPU (kebanyakan dari sivitas akademika UI) banyak dijadikan pejabat tinggi: menteri, staff mentri, dst. Setelah sekian waktu, diketahui bahwa di KPU banyak terjadi penyelewengan saat pemilu. Sayang sekali, partai besar seperti PDIP mendiamkan kasus ini, jujur dan adilkah pemilu saat itu? Otak orang cerdas mengatakan tidak! Ada konspirasi jahat di balik KPU!

Akibat fatal reformasi palsu

Politik devide et impera (memecah belah) regim ORBA dengan menciptakan puluhan parpol baru (kebanyakan berisi preman) dan berbagai organisasi massa yang juga beranggotakan preman (demi politik pinjam tangan tuk melaksanakan kekerasan dan kerusuhan) agar PDIP tidak menang mutlak saat pemilu (setelah Soeharto jatuh), telah mengakibatkan negara dalam situasi buruk sekali. Badan legislatip (DPR/MPR), yudikatip dan eksekutip bagaikan dikuasai mafia preman (premanisme dalam negara, dengan koordinator/organisator para petinggi militer). Maka benarlah sinyalemen para ahli politik luar dan dalam negri bahwa persamaan mathematik reformasi palsu di Indonesia adalah: Orde Reformasi = Orde Baru cukup dikurangi satu Soeharto saja, plus munculnya permanisme di banyak parpol telah menjadikan situasi dan kondisi reformasi palsu jauh lebih jelek daripada saat regim Seharto.

Manusia yang cerdas dan kritis harus sampai pada kesimpulan sbb.: dijaman Soeharto, yang nakal dan merusak negara adalah Militer dan Golkar; disaat ini (2007, di era reformasi palsu) yang nakal dan merusak negara tidak hanya (masih) Militer dan Golkar, namun plus ulama, plus cendekiawan, serta plus preman2 predator bangsa (anggota parpol hasil rekayasa Orba, yang kini sudah terlanjur bercokol dan mendominasi lembaga legislatip, yudikatip dan eksekutip). Oleh sebab itu, tidak heran bila situasi dan kondisi bangsa lebih buruk daripada si-kon saat regim Soeharto, sehingga sementara orang yang buta huruf politik (iliterate) lalu merindukan kembalinya regim Soeharto; sungguh licik dan sangat merusak bangsa tindakan regim Orba itu!!! Jurus maling teriak maling seperti di jaman 1965 kembali dilakukan. Kalau dulu, kambing hitamnya adalah PKI; kalau sekarang kambing hitamnya adalah “reformasi” (yang palsu). Tak heran moralitas dan rasionalitas bangsa hancur; bangsa Indonesia tetap dalam status krisis multi dimensi, bahkan kemiskinan dan pengangguran semakin tinggi. Tuhan pun lalu sering mengamuk (banyak malapetaka), sebab melihat ulama dan cendekiawan Nya terusmenerus mempermainkanNya!

Dari sisi agama, bagi organisasi sebesar MUI, HMI, KAHMI dan ICMI yang terjebak menjadi alat regim ORBA, sungguh amat disayangkan; bagaimana moral bangsa tidak hancur, kalau ulama sebagai lambang moral dan cendekiawan lambang kecerdasan, kejujuran serta kebenaran telah diperalat oleh regim maha jahat yang telah membangkrutkan negara. Beberapa tokoh Islam moderat dan negarawan berseloroh: nabi para ulama MUI dan cendekiawan HMI, KAHMI dan ICMI adalah nabi Soeharto DUT (duit), bukan lagi nabi Muhammad SAW.

Pada saat tulisan ini ditulis (2007), kekuatan regim ORBA bagaikan telah pulih kembali. Dengan pulihnya mereka ini, maka penegakan keadilan dan penegakan hukum hampir tidak mungkin terjadi, sebab tokoh2 pelanggar HAM berat dan pelaku KKN kelas berat adalah para tokoh regim ORBA yang saat ini masih berkuasa baik di GOLKAR maupun di banyak partai (diselundupkan). Setiap usaha untuk memperbaiki bangsa dari sisi keadilan dan kebenaran dipastikan seperti membentur dinding, sebab pasti menabrak tokoh2 ini dulu – lalu proses berhenti disitu, maka hampir tidak mungkin sukses. Dengan lemahnya kualitas SDM politisi, ditambah banyaknya preman2 dalam parpol, serta sulitnya orang pandai-cerdas-bijak memasuki parpol (karena parpol bagaikan sudah dikunci dari dalam oleh Mafia preman), maka Indonesia saat ini benar-benar dalam genggaman para preman, Indonesia kini, boleh dikata, adalah dalam kondisi dijajah bangsanya sendiri!

Penutup

Berkat politisasi agama, akhirnya Suharto dan regimnya ternyata selamat, aman, tentram, dan sejahtera sampai saat ini; sedangkan bangsanya tetap dalam status krisis multi dimensi, bahkan kemiskinan dan pengangguran semakin tinggi. Disamping itu, bangsa ini lalu digendam dan dimabokan dengan agama; pertempuran ideologi Barat lawan Timur Tengah sangat meriah: dar … der .. dor … gleger … glegar … boommm, diseantero bumi Nusantara, rakyat yang tidak cerdas hanya bisa mlongo! Persis diramalkan sejahrawan internasional, Samuel Huntington dan Francis Fukuyama, akan terjadi “clash of civilization”, dan itu terjadi di Indonesia!

Ajaran yang dapat dipetik dari Begawan Politik Soeharto adalah: pertama susupi dan tunggangi, kedua kalau menipu jangan tanggung-tanggung (maling teriak maling): tipulah bangsamu – bahkan kalau bisa, tipulah Tuhanmu melalui politisasi agama, ketiga kuasailah media informasi negara, keempat buatlah jaringan politik seperti MLM (dari Jakarta s/d daerah misal sampai ke Free Port atau Balikpapan, kelima gunakan bunga uang hasil merampok negara (yang tersimpan aman dan rapi di luar negri) untuk money politics (membeli ilmuwan kampus, ulama, dan preman – yang saat ini murah sekali harganya). Dan yang paling penting (keempat) kuasai militer dan polisi; selama militer dan polisi masih berpolitik dan bisnis (tidak netral, tidak profesional, dan tidak terkendali) serta masih memihak regim Orba dan penerusnya, maka Indonesia tidak mungkin menjadi bangsa yang sehat, normal, baik, aman, tentram dan sejahtera, sebab regim/sistem yang dibangun lalu mirip regim militer terselubung.

Semoga ajaran Soeharto cepat berlalu seiring dengan akan cepat berlalunya dia dkk. (mati). Menurut pengamat politik asing, di Indonesia, yang nakal sekali justru generasi tuanya, bukan generasi mudanya, maka semoga mereka cepat berlalu. Dan kepada generasi penerus Indonesia, bangkit dan luruskanlah arah sejarah dan perjuangan bangsamu, pertinggi kecerdasanmu, jangan mau dikatakan tolol secara halus oleh bangsa lain! Mohon di camkan, reformasi palsu di Indonesia ini telah menjadi bahan lelucon politik internasional yang disebut: “Mati Ketawa Ala Indonesia”. Tolong selamatkan bangsa ini dengan menyebarluaskan artikel ini. Saran dan kritik anda kami harapkan. Selamat berjuang.

Kiriman dari:

Para Postgrad di Eropa plus Indonesianis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar